Toa Masjid

 


Sebenarnya TOA bukan merupakan nama benda, melainkan nama merek dagang asal Jepang. Tetapi karena megafon buatan TOA Corporation itu banyak digunakan dan sangat terkenal pada masanya, masyarakat pun lebih terbiasa menyebut pengeras suara itu dengan nama Toa. Seperti halnya masyarakat kita menyebut pasta gigi dengan odol, air minum kemasan dengan aqua, mie instan dengan indomie, dlsb. Sebutan yang sejatinya itu untuk sebuah merek.

Namun, belakang tidak sedikit kita temui orang-orang yang mempersoalkan masalah Toa atau pengeras suara ini. Bukan karena penyebutannya, melainkan akibat dikeluarkannya surat edaran Menteri Agama yang mengatur tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

Belum lagi ditambah dengan klarifikasi yang disampaikan oleh Menag terkait aturan tersebut yang banyak di goreng oleh media dan orang-orang yang ingin mencari panggung, parahnya hal tersebut langsung ditelan mentah-mentah oleh sebagian masyarakat.

Masalah agama di Indonesia memang sudah dijadikan politik identitas oleh mereka yang haus kekuasaan, seakan-akan mereka yang menunjukkan adanya masalah berikut solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut dicitrakan menistakan atau membenci agama Islam.

Namun, sebenarnya banyak yang salah kaprah tentang penggunaan pengeras suara di masjid. Sebagai umat Islam tentu saja saya mengkritik mengenai hal tersebut.


Kenyataannya, kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 tersebut pada intinya mengatur masalah kebisingan yang ditimbulkan oleh speaker di masjid, dan dikeluarkannya aturan tersebut untuk memberikan solusi agar kebisingan yang keluar dari masjid tidak mengganggu lingkungan sekitar masjid.

Memang penggunaan pengeras suara di masjid itu perlu, kalau tidak ada pengeras suara tidak akan ada syiar Islam seperti adzan, khutbah Jum'at, dlsb. Namun penggunaan pengeras suara harus secukupnya.

Ada beberapa masjid yang pernah saya kunjungi dan berada di pemukiman padat penduduk, bahkan masjid yang dibangun oleh pemekab/pemkot setempat telah menggunakan dua sistem pengeras suara, yaitu pengeras suara dalam dan luar, dan pengeras suara dalam.

Pengeras suara dalam dan luar digunakan untuk adzan dan iqomah, khutbah Jum'at, dan Qiroah sebelum masuk waktu shalat dinyalakan 15 menit sebelum sholat, kalau waktu sholat Jum'at dinyalakan 45 menit sebelum adzan. Hanya sebatas itu penggunaannya.

Tetapi masih banyak juga kita temui masjid-masjid yang belum menerapkannya, bahkan masjid dilingkungan kita sendiri. Apalagi waktu Ramadhan ada beberapa tempat yang tadarus sampai jam 00.30 dengan pengeras suara luar. Kasihan masyarakat sekitar, anda membaca Alquran dengan suara keras sementara diluar sana ada tetangga yang tidak ikhlas karena terganggu dengan kerasnya suara anda.

Bisa saja diluar sana ada beberapa orang yang tidak siap mendengarkan bisingnya speaker yang diputar di masjid-masjid, ada yang lalu lalang, ada yang baru pulang shift malam, ada yg butuh istirahat, ada yang sakit, ada bayi dan lansia yang butuh tidur, dlsb.

Sebenarnya tidak ada yang melarang membaca Alquran, tidak ada. Yang dikeluhkan ialah volume suaranya.

Meski begitu, ada beberapa takmir masjid memang yang anti kritik mengenai penggunaan pengeras suara, mereka berlindung dibalik yang namanya ibadah perihal penggunaan pengeras suara, padahal mereka mengaji dikamar dengan suara lirih saja Tuhan maha mendengar dan suara ngaji anda tembus ke langit.

Kalau menggunakan pengeras suara saat melantunkan ngaji Alquran cukup memakai pengeras suara dalam, tidak perlu seluruh kecamatan harus mendengarkan suara anda ngaji melalui toa masjid dengan alasan biar yang dengar pada kecipratan pahala atau mungkin menganggap pendengaran Tuhan mulai berkurang seiring bertambah tuanya alam semesta.

Alasan apapun itu seharusnya para takmir masjid mendengarkan jika ada komplain dari masyarakat, karena masjid itu dibangun dengan dana masyarakat dan berada di tengah masyarakat, sebaiknya hidup selaras dengan masyarakat. Yang dituntut itu bukan melarang menggunakan pengeras suara, yang dikomplain itu volumenya.

Malangnya masyarakat sekitar masjid tidak berani komplain terkait hal itu bahkan orang Islam sendiri, takut dicap anti Islam, anti agama, anti syiar, dlsb. Pada akhirnya, masyarakat hanya bisa menggerutu.

Sayangnya fenomena ini cuma terjadi di negeri yang berada di utara Australia saja. Negara yang kental Islam (negara Islam) seperti Malaysia dan Saudi tidak seperti ini. Mereka sangat paham penggunaaan pengeras suara dan adab dalam beribadah.


Untuk analogi kebisingan dari speaker masjid yang disamakan dengan gonggongan anjing, menurut saya analogi tersebut tidak salah, karena yang dianalogikan adalah tingkat kebisingan, bukan azan vs gonggongan anjing.

Perilaku masyarakat kita yang dengan mudahnya mengikuti pendapat kebanyakan orang. Meski pendapat itu salah, tapi karena mayoritas menganggap itu benar, maka menjadi seakan-akan memang benar adanya, alias masih banyak yang memiliki mental kerumunan.

Menurut saya, klarifikasi yang disampaikan oleh Menag tidak perlu diributkan. Jika dibaca baik-baik, beliau menyatakan bahwa:

  • Suara toa harus diatur dan,
  • Jika ada tetangga-tetangga kita memelihara anjing kemudian anjing-anjing tersebut menggonggong bersamaan…dst.

Orang yang tersinggung berarti tidak menangkap dengan baik konteksnya. Kenapa menjadi perbincangan hangat? Karena kebetulan yang di umpamakan adalah suara gonggongan anjing. Thats all. Padahal secara kontekstual jika di telaah, tidak ada masalah mau gunakan perumpamaan apapun.

Ini jadi perbincangan karena masyarakat yang baperan dan tak mau menganalisa konteks. Karena anjing dikonotasikan negatif, anggap saja itu adalah auman singa.


Selalu saja kita temui orang-orang yang sering kali mempermasalahkan kejadian seperti ini, seolah tidak ada masalah yang lebih krusial di bumi wonderland ini. Entah itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Seolah-olah sebagian besar masyarakat cenderung lebih sering menomorsatukan persoalan persoalan terkait dengan yang namanya agama diatas persoalan yang lain.

Faktanya. Berdasarkan data, kebanyakan negara yang menomorsatukan agama tergolong sebagai negara miskin dan negara berkembang. Kenapa? Karena adanya concern akan pembatasan kebebasan manusia, baik dalam bertindak maupun berpikir.

Penduduk di negara-negara ini masih banyak yang religius. Memegang teguh agama mereka. Makanya mereka masih berpikiran seperti ini : Takut melanggar peraturan agama lalu dicemplungkan ke neraka.

"Religion try to control the society by exploiting their fear. State enact this kind of fear to control their people".

Korban dogma-dogma seperti ini masih banyak. Apalagi di dalam masyarakat kita.

Mereka tidak mau berpikir, tidak mau membaca buku selain Kitab Suci. Ya, ngapain juga wong semua sudah dijelaskan didalamnya.

Tidak mau melakukan apapun selain ibadah saja. Giliran bekerja setengah mati. Memang itu ya, yang diajarkan dalam agama? Kok saya gagal paham.

Bahkan sekolah-sekolah di negara tersebut pun, kebanyakan pelajarannya didominasi oleh pendidikan agama. Sudah di rumah belajar agama, di sekolah juga belajar agama. Menurut saya lebih penting belajar geografi, fisika, matematika, sains, dan lain-lainnya yang berhubungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari. Kenapa? Karena ilmunya jauh lebih kompleks! Kalau tidak diajarkan oleh guru bagaimana mau mengerti seluk beluknya?


Apa yang mau dibanggakan dari grafik ini? Lihat kita bersanding dengan negara mana saja. Malahan Singapura yang merupakan negara tetangga kita tidak masuk.

Bahkan pada periode 2009-2015, skor PISA Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Dari ketiga kategori kompetensi, skor Indonesia selalu berada di bawah rata-rata.

Pada survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, lagi-lagi menempatkan siswa Indonesia di jajaran nilai terendah terhadap pengukuran membaca, matematika, dan sains.

  • Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke-6 dari bawah (74) dengan skor rata-rata 371. Turun dari peringkat 64 pada tahun 2015.
  • Pada kategori matematika, Indonesia berada di peringkat ke-7 dari bawah (73) dengan skor rata-rata 379. Turun dari peringkat 63 pada tahun 2015.
  • Pada kategori kinerja sains, Indonesia berada di peringkat ke-9 dari bawah (71), yakni dengan rata-rata skor 396. Turun dari peringkat 62 pada tahun 2015.

"Loh, ranking satu siapa? Indonesia pasti!"
Jangan mimpi di siang bolong. Negara diurutan pertama adalah China.

Negara tetangga kita yang sekuler seperti Singapura, rekor pencapaian akademisnya jauh lebih tinggi. Bahkan masuk top 10 di dunia. Skor PISA-nya ranking dua di dunia.

Menurut yang saya baca, tidak ada negara religius yang sudah ditetapkan sebagai negara maju oleh World Bank atau World Trade Organization. Jangan hanya dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) nya. Lihat juga dari aspek-aspek yang lain.

Kebebasan; dalam hal apapun adalah kodrat manusia. Mau dikekang; dimasukkan ke dalam sangkar lalu digembok; pasti seseorang akan berusaha menemukan berbagai cara untuk kabur. Pasti. Makanya dapat dengan mudah kita temui ada sebuah daerah yang sangat religius di Indonesia, tapi tingkat HIV/AIDS-nya masih tinggi.



Sebagai muslim, beruntungnya saya tidak kelebihan dosis agama. Sembahyang saya bahasa arab, namun jika semua aspek kehidupan saya harus timteng-sentris (kearab-araban); tentu tidak mau sama sekali. Saya cinta budaya asli Indonesia dengan kebaya-kebaya dan kecantikan rambut terurainya wanita default Indonesia.

Dan jika harus memilih peradaban lain untuk progres bermasyarakat; saya lebih memilih kultur eropa/barat (hollywood-sentris) karena sudah jelas terasa manfaatnya produk teknologi dari barat yang telah menjadi kebutuhan sehari-hari dan membantu aktivitas manusia di bumi yang bulat ini (seperti: hp, internet, media sosial, kendaraan, dlsb).

Kebanyakan orang selalu salah kaprah dengan negara sekuler. Banyak yang membenci tapi ketika ditanya apa arti sekularisme jawabnya ngawur.

Padahal sekularisme sejatinya hanya ideologi yang memisahkan ranah kepercayaan dengan institusi pemerintah. Namun masih ada saja yang mengatakan bahwa sekularisme menyuruh manusia untuk tidak beragama.

Untuk itu perlu dibedakan kata PISAHKAN dengan HILANGKAN. Tolong banyak-banyak baca buku jangan hanya asyik nonton sinetron alay saja atau scrool media sosial berjam-jam tiap hari. Kan jadi susah membedakan mana yang baik dan jahat, serta yang mana yang sekedar fiksi dan yang nyata.


"Dinegara lain sibuk membantu satu sama lain. Dinegara kita sibuk mengkafirkan satu sama lain".


~ Bukan Main ~

Referensi :

TOA Corporation

Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022

Saudi Minister Defends Volume Limit on Mosque Loudspeakers

The Global God Devide

Programme for International Student Assessment (PISA) 2018






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama