Nikah Muda

 


Nikah muda sebenarnya tidak dikenal dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), sehingga definisinya masih terkesan abstrak. Ada yang beranggapan nikah muda sama dengan pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan sebelum usia 19 tahun. Ada juga yang menganggap pernikahan yang dilakukan pada usia 19-25 tahun termasuk dalam kategori menikah muda.

Pernikahan tersebut memang bukan lagi hal yang baru di Indonesia, sebagian masyarakat agamis bahkan mengampanyekan nikah muda sebagai satu-satunya jalan untuk menghindari perzinahan, menyempurnakan ibadah maupun mendapat pahala agar dipermudah masuk surga.

Tidak sedikit juga masyarakat yang beranggapan sebaliknya, karena pernikahan seperti itu cenderung memiliki banyak tantangan dan beragam risiko, sebab kebanyakan anak muda pada usia tersebut belum matang secara mental maupun psikologis.

Belum lagi kaum muda-mudi yang cenderung berorientasi pada selangkangan alias memutuskan untuk menikah di usia muda tidak lain dan tidak bukan adalah karena dorongan hasrat seksual dan romantisasi berlebihan.


Yang niatnya menyempurnakan separuh agama itu kebanyakan cuma bullshit. Masih lebih murah umroh daripada kasih makan anak orang. Karena bagi saya menikah itu ibarat DP di depan cicilannya seumur hidup.

Rukun Islam kan ada lima. Syahadat, solat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Jadi, kalau memang niatnya mau menyempurnakan agama, kenapa tidak haji dulu? Atau kalau haji dirasa kemahalan, bisa umroh terlebih dahulu untuk dapat gambaran bagaimana nanti haji ke depannya.

Jangan samakan situasi bumi pada masa lampau dengan sekarang. Dulu alasan menikah muda terutama di daerah-daerah yang mata pencaharian utamanya berladang adalah supaya dapat tenaga kerja murah atau gratis untuk menggarap sawah, punya anak mantu biar ada yang bantu mengurus kebun.

Namun karena sekarang sawah sudah jarang, akhirnya motif lain dari nikah muda adalah transfer kemiskinan.


Satu keluarga miskin beranak banyak, merasa anaknya sudah cukup dewasa untuk menikah akhirnya dinikahkan. Motifnya biar beban keluarga berkurang karena lebih sedikit mulut yang harus diberi makan. Ini dianggap akan meringankan beban orang tua tersebut.

Akhirnya, anak dari golongan miskin ini ditransfer ke keluarga lain atau membentuk aliansinya sendiri. Ini sebabnya banyak yang menikah muda di usia under 20 pasti dari golongan bawah.

Namun bagi saya pribadi sebenarnya tidak masalah kalau orang yang sama-sama miskin ini menikah, yang salah adalah langsung punya anak.



Punya anak itu bukan sekedar hamil kemudian melahirkan terus haha hihi foto-foto lalu di-upload di media sosial. Bukan itu!

Punya anak itu artinya punya tanggung jawab besar untuk kelangsungan hidup manusia lain. Tuhan sudah mempercayakan buah hati kepada pasangan tersebut, dan seharusnya di rawat dengan baik.

Mereka harusnya memikirkan masa depan anak mereka. Memikirkan popok, susu, makanan, sekolah, uang jajan, cara mendidik anak dlsb. Belum lagi jika mengalami fase baby blues, fase stress, fase anak susah diatur dlsb.

Kalupun sudah terlanjur menikah tetapi belum punya penghasilan, ada baiknya tundalah untuk memiliki anak. Kalau sudah terlanjur hamil cukuplah yang satu itu dulu. Agar orang lain tidak turut menderita karena ulah kalian.

Please lah, menikah itu bukan sekedar melampiaskan urusan selangkangan, bikin anak, atau hepi-hepi. Tapi ada juga sisi lain seperti ekonomi, komitmen, dlsb yang harus diperhatikan.

Menikah juga bukan cuma perkara gengsi, umur dan melampiaskan kebutuhan biologis secara halal atau bereproduksi. Tetapi menikah itu tentang mampu, siap dan ikhlas serta banyak hal lain yang harus dipersiapkan, karena menikah bukanlah untuk 1–2 hari saja.

Jika masalah nafsu seks sulit untuk ditahan atau dikendalikan, bisalah pakai protection seperti kondom, suntik dan atau minum pil KB. Saya rasa itu tidak lebih mahal daripada pengeluaran untuk anaknya nanti. Kalau saking tidak biasanya beli, tahanlah dan pikirkan akibatnya.


Anak itu tanggung jawab yang besar. Terapkan program KB atau pakailah kondom. Kalau perlu tidak usah punya anak sebelum sekiranya anda mampu bertanggung jawab mencukupi kebutuhannya dengan baik.

Masih lebih murah beli kondom seharga 15 ribu daripada beli susu anak 150 ribu. Mending kalau 150 ribu bisa untuk sebulan, kadang ada yang bayinya bisa menghabiskan cuma dalam waktu seminggu. Ya ini realita yang kadang tidak disadari oleh banyak kaum nikah muda.

Belum lagi yang meyakini mitos 'banyak anak banyak rejeki' dengan anggapan mereka akan bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang tinggi dan anak-anaknya hidup sukses dan balas budi ke orangtuanya. Namun kalau tidak sanggup? Yang ada jadinya banyak anak banyak masalah. Atau barangkali rejeki yang dimaksud disini adalah rejeki dari bansos mungkin? (mungkin).

Tapi, jika anda tetap ngotot menikah dengan modal yakin dan menjunjung tinggi dogma 'banyak anak banyak rejeki' tanpa disertai finansial dan ilmu parenting yang mumpuni, maka sama saja anda menjadikan anak sebagai korban dari kebodohan anda sendiri.


Korban dari kebodohan maupun ketidaksiapan orang tua sebenarnya dapat kita lihat secara fisik. Lihat saja anak yang memiliki tinggi lebih pendek dari rata-rata anak seusianya, atau anak yang wajahnya terlihat lebih muda dari teman-teman seusianya (tetapi bukan awet muda, karena awet muda tidak memiliki masalah tinggi badan dan lain sebagainya), atau anak dengan perkembangan otak yang terhambat.

Itulah yang akan terjadi ketika bayi (di 1000 hari pertama kehidupan) dalam kandungan tidak diperlakukan dengan layak melalui gaya hidup sang bunda saat mengandung yang dikenal dengan stunting.

Apalagi setelah bayi lahir ditambah sang bunda belum ‘matang’ (misalnya masih suka tiktok-an, alay mengikuti trendi fyp, masih hobi nongki, masih childish atau masih berjiwa ABG yang masa transisi remaja-dewasanya belum terpuaskan) sehingga mengakibatkan pola asuh anak yang buruk. Si anak lagi-lagi menjadi korban sekian kalinya setelah stunting.

Para mamah-mamah muda, entah itu karena hamidah (hamil diluar nikah) atau memang sengaja kebelet karena melihat (biasanya di kampung) tetangga, teman, circle, atau justru karena romantisasi postingan media sosial tentang pernikahan, rawan terhadap stunting ini.


Merawat anak itu tidak sesimpel postingan di tiktok atau media sosial lainnya, karena benar-benar perlu kedewasaan yang benar-benar matang.

Orang yang bisa berhitung jelas tahu bahwa biaya untuk membangun dan merawat rumah tangga serta anak-anaknya nanti itu biaya yang tidak murah.

Orang yang punya rasa keperimanusiaan jelas sadar bahwa melahirkan anak, ketika dirinya sendiri masih ngos-ngosan untuk membiayai hidupnya, adalah tindakan yang egois, kejam dan jahat.

Tetapi jika mereka tetap bersikeras kebelet karena calon suaminya berseragam atau karena calon istrinya agresif, apalagi meromantisasi membawa-bawa dogma agama “tetapi kan menurut agama ...” atau “menjauhi zina ... atau banyak anak banyak rezeki...”, ya itu pilihan mereka! Dan tentu saja anak lagi-lagi yang menjadi korban.


Bagaimana dengan orang tua dari anak-anak seperti gambar di atas? Bolehkah anak dari perkawinan semacam itu membenci orang tuanya? Tentu saja boleh.

Persetan untuk kalimat-kalimat :

  • ‌"Surga di bawah telapak kaki ibu…"
  • ‌"Ibu mengandung selama 9 bulan dan melahirkan dengan mempertaruhkan nyawa…"
  • ‌"Maafkanlah kesalahan orang tua, walaupun itu pahit. Mereka hanyalah manusia yang bisa khilaf…"
  • ‌"Anak Durhaka tidak akan pernah mencium bau surga…"
  • ‌"Berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban bagi seorang anak…"

Begitulah nilai tertinggi orang tua selalu diletakkan pada mengandung dan melahirkan tanpa mempertimbangkan kebejatan mereka terhadap si anak setelahnya.

Jika memang demikian, binatang juga mengandung dan melahirkan. Dan, sepertinya binatang bisa lebih baik berperan sebagai orang tua.

Kalian sebagai orang tua tak tau diri, tidak usah berlagak sebagai pahlawan dan sok sudah bertumpah darah hanya karena sudah mengandung dan melahirkan. Dua hal tersebut memang sudah aturan mainnya demikian dan derita yang memang sudah seharusnya kalian tanggung.

Kita selama ini didoktrin tentang keharusan memperlakukan orang tua dengan baik tanpa berusaha meninjau kembali sudah sejauh mana mereka mampu mengasihi anak-anaknya.


Teman laki-laki saya menghabiskan masa kecilnya dengan tubuh penuh lebam. Sekarang dia hidup dengan luka batin tanpa memiliki sedikitpun ikatan emosional dengan orang tuanya.

Juga ada dulunya yang kerap kali dibentak untuk setiap kesalahan kecil yang dia lakukan. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan, mereka tidak menerima perlakuan menyenangkan sebagai anak.

Mereka tidak pernah merasakan kehangatan suasana dalam rumah dan cenderung merasa takut berhadapan dengan orang tuanya. Apakah mereka wajar membenci? Menurut saya, sangat wajar. Apakah itu namanya mereka durhaka? Belum tentu.

Jika kalian berkata perlakuan tersebut lantaran karena anak tersebut nakal dan menyusahkan, apakah kalian tidak tahu bahwa setiap anak yang lahir adalah anak yang nakal dan memang untuk menyusahkan? Kalau memang tidak mau disusahkan, berarti kalian tidak siap menjadi orang tua. Maka dari itu, salahkan diri kalian dan pasangan. Mengapa kalian menciptakan anak yang nakal dan menyusahkan itu? Dia tidak akan pernah ada kalau bukan karena pertarungan kelamin kalian.



Belum lagi ketika anak dari hasil perkawinan semacam itu sudah beranjak dewasa namun nampak kurang berhasil dari anak seusianya, mendapati perkataan dari orang tua tidak tahu diri atau keluarga bahkan tetangga tak paham kondisi. "Orang lain juga satu harinya 24 jam. Kok mereka bisa sukses?" Atau membandingkan si anak kurang beruntung dengan si X yang masih muda tapi sudah "jadi orang".

Faktanya, 24 jam orang yang ke sekolah atau kampus misalnya dengan menggunakan angkutan umum atau bahkan berjalan kaki jelas tidak sama dengan 24 jam orang lain yang ke sekolah atau kampus naik mobil pribadi.

24 jam orang yang sekolah atau kuliah sambil bekerja, mengurus orang tua, memasak, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah dan lain sebagainya jelas tidak sama dengan orang lain yang sekolah atau kuliah namun memiliki ART, koki, tukang cuci pribadi dan sokongan dana dari orang tuanya.

Semua orang memang punya jatah waktu yang sama, tapi fasilitasnya yang tidak sama.

Initinya, orang tua akan sangat berperan penting dalam menentukan dan membentuk nasib anaknya di awal kehidupan. Jangan selalu menjadikan anak sebagai korban dari keegoisan selangkangan. Lebih baik menunda daripada memaksa, karena menikah butuh kemantapan finansial. Bukan kemantapan bersenggama.






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama